KISAH PENGHUJUNG TAHUN: Daun Terakhir (O. Henry)

DI DAERAH KECIL kota itu dari barat Alun-Alun Washington,[1] jalanan telah menjadi simpang siur. Mereka berbelok ke arah berbeda. Mereka pecah menjadi ruas kecil yang disebut “tempat”. Satu jalan menyeberangi dirinya sendiri satu atau dua kali. Seorang pelukis suatu kali menemukan sesuatu yang niscaya dan bernilai dari jalan ini. Sekiranya seorang pelukis memiliki sejumlah bahan lukis untuk yang ia tidak membayarnya. Sekiranya ia tidak memiliki uang. Sekiranya seorang lelaki datang untuk mendapatkan uang itu. Lelaki itu mungkin menuruni jalanan itu dan mendadak menjumpai dirinya ke situ lagi, tanpa menerima sesen pun!

Daerah dari kota ini bernama Desa Greenwich. Dan ke Desa Greenwich tua para pelukis segera tiba. Di sini mereka menemukan kamar yang mereka sukai, berpenerangan baik dan ongkos yang rendah.

Sue dan Johnsy tinggal pada puncak sebuah bangunan dengan tiga lantai. Salah satu dari wanita muda ini berasal dari Maine,[2] yang lain dari California.[3] Mereka telah bertemu di sebuah rumah makan di Ruas Delapan. Di sana mereka mengetahui menyukai sejenis seni yang sama, sejenis makanan yang sama, dan sejenis pakaian yang sama. Jadi, mereka memutuskan untuk tinggal dan bekerja bersama-sama.

Begitulah di musim semi.

Menuju musim dingin orang asing tak dikenal memasuki Desa Greenwich. Tak seorang pun mampu berbicara dengannya. Ia berjalan kian ke mari menyentuh satu orang di sini dan yang lain di sana dengan jemarinya yang sedingin es. Ia adalah penyakit buruk. Dokter menyebutnya Pneumonia.[4] Di sisi selatan kota itu ia terburu-buru, menyentuh banyak orang; tapi di jalanan sempit Desa Greenwich itu ia tidak bergerak demikian cepat.

Tuan Pneumonia bukanlah pria tua menyenangkan. Seorang lelaki tua menyenangkan tidak akan menyakiti wanita kecil lemah dari California. Namun, Tuan Pneumonia menyentuh Johnsy dengan jemari dinginnya. Dia berbaring di ranjang hampir tanpa bergerak, dan dia melihat menembus jendela pada dinding rumah di sebelah kamarnya.

Pada suatu pagi dokter sibuk itu berbicara pada Sue seorang saja dalam aula, tempat Johnsy tidak mampu menguping.

“Dia punya kesempatan sangat kecil,” ia berkata. “Dia punya kesempatan, jika ingin hidup. Jika orang-orang tidak ingin hidup, aku tidak dapat berbuat apa-apa untuk mereka. Nyonya kecilmu telah memutuskan dia tidak akan sembuh. Adakah sesuatu yang tengah mengganggunya?”

“Dia selalu ingin pergi ke Italia dan melukis sebuah gambar tentang Bay of Naples[5],” ucap Sue.

“Melukis! Bukan melukis. Adakah sesuatu berharga yang jadi gangguan? Seorang lelaki?”

“Seorang lelaki?” ucap Sue. “Adakah seorang lelaki berharga—Tidak, Dok. Bukan seorang lelaki.”

“Kelemahan,” ujar dokter itu. “Saya akan melakukan segala yang saya tahu caranya. Namun, jika seorang pribadi sakit mulai merasa ia akan menjemput ajal, separuh kerjaku tak berguna. Bicaralah padanya tentang pakaian musim dingin baru. Jika dia tertarik dengan masa depan, kesempatannya akan jadi lebih baik.”

Sesudah dokter itu berlalu, Sue masuk ruang kerjanya untuk menangis. Lantas dia berjalan ke kamar Johnsy. Dia membawa beberapa bahan lukisannya, dan dia bersenandung.

Johnsy berbaring di sana, sangat kurus dan begitu tenang. Wajahnya berpaling ke arah jendela itu. Sue berhenti bersenandung, mengira Johnsy tengah lelap.

Sue mulai bekerja. Selagi dia bekerja didengarnya bunyi lirih, berulang-ulang. Dia segera menuju tepi ranjang.

Sepasang mata Johnsy terbuka lebar. Dia sedang memandang keluar jendela dan menghitung—menghitung ulang.

“Dua belas,” dia berkata; dan tak berapa lama kemudian, “Sebelas”; dan lantas, “Sepuluh,” dan “Sembilan”; dan lantas, “Delapan,” dan, “Tujuh,” hampir berbarengan.[6]

Sue memandang keluar jendela. Adakah sesuatu yang dihitung? Hanya sisi tembok dari rumah sebelah, dekat jaraknya. Dinding itu tidak berjendela. Sebatang pohon yang sungguh-sungguh tua tumbuh melawan dinding itu. Embusan beku musim dingin sungguh telah menyentuhnya. Nyaris seluruh daun berguguran dari dahan gelapnya.

“Apa itu, Sayang?” tanya Sue.

“Enam,” ucap Johnsy, dalam suara yang masih lirih. “Mereka berguguran lebih cepat sekarang. Tiga hari lalu hampir seratus. Menyakiti kepalaku untuk menghitungnya. Namun, sekarang mudah. Terjadi lagi satu. Terdapat hanya lima sekarang.”

“Lima apa, Sayang? Beri tahu temanmu Sue.”

“Daun-daun. Pada pohon itu. Saat yang terakhir gugur, aku harusnya gugur pula. Aku pahami itu dalam tiga hari. Tidakkah dokter itu memberitahumu?”

“Oh, aku tidak pernah mendengar apa pun semacam itu,” ucap Sue. “Tidak ada gunanya. Apakah yang dilakukan sebatang pohon tua denganmu? Atau dengan kesembuhanmu? Dan kaubiasanya sangat mencintai pohon itu. Jangan jadi agak konyol. Dokter itu berkata padaku kesempatanmu untuk sembuh. Ia berkata padaku pagi ini. Ia berkata kau memiliki kesempatan sangat besar! Cobalah beberapa suapan sekarang. Dan kemudian aku akan kembali bekerja. Dan kemudian aku bisa menjual lukisanku, dan kemudian aku bisa membeli sesuatu lagi untuk kaumakan supaya bugar.”

“Kautidak harus membeli apa pun untukku,” kata Johnsy. Ia masih memandang ke luar jendela. “Jatuh lagi lainnya. Tidak, aku tidak ingin makan apa pun. Sekarang terdapat empat. Aku ingin melihat yang terakhir gugur sebelum malam. Kemudian aku akan pergi juga.”

“Johnsy, Sayangku,” ucap Sue, “akankah kau berjanji padaku untuk menutup mata dan tetap menutupnya? Akankah kau berjanji tidak akan memandang keluar jendela sampai aku menyelesaikan pekerjaan? Aku harus menyudahi lukisan ini besok. Aku butuh cahaya; aku tidak bisa menutup jendela itu.”

“Tidak dapatkah kau bekerja di ruang lain?” tanya Johnsy dingin.

“Aku lebih suka berada di sini dekatmu,” ucap Sue. “Dan aku tidak ingin kau memandangi dedaunan itu.”

“Beri tahu aku segera setelah kauselesai,” kata Johnsy. Dia menutup sepasang matanya dan berbaring pucat dan hening. “Karena aku ingin melihat daun terakhir gugur. Aku benar-benar menantinya. Aku benar-benar memikirkannya. Aku ingin melayang turun, turun, seperti salah satu daun itu.”

“Cobalah tidur,” kata Sue. “Aku harus memanggil Behrman untuk datang ke sini. Aku ingin melukis seorang pria dalam gambar ini, dan aku akan membuatnya terlihat seperti Behrman. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Jangan mencoba bergerak sampai aku kembali.”

Si Tua Behrman adalah seorang pelukis yang tinggal di lantai pertama dari gedung mereka. Ia berumur lebih dari enam puluh tahun. Ia tidak berhasil sebagai seorang pelukis. Karena empat puluh tahun ia melukis, tanpa pernah melukis sebuah gambar indah. Ia selalu bercakap tentang melukis sebuah gambar luar biasa, sebuah karya agung, tapi ia belum pernah memulainya.

Ia memperoleh sedikit uang dengan melepas gambar lukisan lain tentangnya. Ia terlalu banyak minum. Ia masih bercakap tentang karya agungnya. Dan ia meyakini kewajiban khususnya untuk melakukan apa saja yang mungkin untuk menolong Sue dan Johnsy.

Sue mendapatinya di dalam ruangan gelap, dan dia tahu lelaki itu sedang mabuk. Dia bisa membauinya. Dia menceritakan padanya tentang Johnsy dan dedaunan pada pohon merambat itu. Dia berkata cemas Johnsy akan sungguh-sungguh melayang turun, turun seperti daun itu. Keteguhannya pada dunia jadi melemah.

Behrman tua memekik marah atas semacam gagasan.

“Apa!” ia menjerit. “Tolol. Sungguhkah orang-orang meninggal karena dedaunan tanggal dari sebatang pohon? Aku tidak pernah mendengar hal semacam itu. Tidak, aku tidak akan naik dan duduk sembari kau membuat gambarku. Mengapa kau membiarkannya berpikir semacam itu? Johnsy kecil yang malang!”

“Dia sangat menderita dan lemah,” ucap Sue. “Penderitaan telah menempatkan gagasan aneh ini ke dalam pikirannya. Tuan Behrman, jika kautidak ingin datang, terserahlah. Namun, aku tidak berpikir kausangat baik.”

“Ini seperti seorang wanita!” pekik Behrman. “Siapa bilang aku tidak akan datang? Pergilah. Aku datang bersamamu. Dalam setengah jam aku telah mencoba mengatakan aku akan datang. Ya, Tuhan! Ini bukanlah suatu tempat bagi seorang sebaik Johnsy untuk berbaring sakit. Suatu hari aku akan melukis karya agungku, dan kita semua akan pergi dari sini. Ya, Tuhan! Benarlah.”

Johnsy tengah tidur ketika mereka naik. Sue menutup jendela itu, dan mengajak Behrman masuk ke ruangan lain. Di sana mereka memandang keluar jendela dalam rasa takut terhadap pohon itu. Kemudian mereka memandang masing-masing untuk sejenak tanpa kata. Hujan dingin tengah turun, dengannya butiran salju pula.    

Behrman duduk, dan Sue mulai melukis.

Ia bekerja hampir sepanjang malam itu.

Pagi harinya, usai tidur satu jam, Sue menghampiri ranjang Johnsy. Johnsy dengan mata lebar terbukanya sedang memandang ke arah jendela itu. “Aku ingin melihat,” ia berkata pada Sue.

Sue mengambil penutup dari jendela itu.

Namun, setelah deraan hujan dan angin ribut yang tidak berkesudahan sepanjang malam penuh, masih terdapat satu daun terlihat pada tembok. Yang terakhir pada pohon itu. Masih hijau tua dekat cabang. Namun, pada ujungnya berubah layu menua. Daun itu menggantung di sana dari sebatang cabang hampir dua puluh feet[7] di atas tanah.

“Daun terakhir,” kata Johnsy. “Kupikir ia akan sungguh gugur pada malam itu. Kudengar angin. Ia akan gugur hari ini, dan aku akan mati pada saat yang sama.”

“Sayang, Sayangku Johnsy!” kata Sue. “Pikirkanlah aku, jika kautidak ingin memikirkan dirimu sendiri. Bagaimana denganku?”

Namun, Johnsy tidak menyahut. Hal paling kesepian di dunia adalah sebuah jiwa ketika ia bersiap meneruskan perjalanan jauhnya. Ikatan yang menopangnya ke persahabatan dan ke bumi putus, satu demi satu.

Hari itu berlalu lambat. Saat beranjak gelap, mereka masih bisa melihat daun itu menggantung di cabangnya pada tembok. Dan kemudian, saat malam tiba, angin utara mulai kembali berembus. Hujan masih memukul pada jendela.

Ketika cukup terang di pagi berikutnya, Johnsy kembali memaksa untuk diperbolehkan melihat.

Daun itu masih berada di sana.

Johnsy berbaring lama sekali memandanginya. Dan kemudian dia memanggil Sue, yang tengah memasak sesuatu untuk dimakan Johnsy.

“Aku jadi gadis buruk, Sue,” kata Johnsy. “Sesuatu telah membuat daun terakhir itu bertahan di sana untuk menunjukkan padaku betapa buruk diriku adanya. Salah untuk menginginkan mati. Aku akan mecoba makan sekarang. Namun, pertama-tama bawakan aku sebuah cermin, sehingga aku bisa melihat diriku sendiri. Dan kemudian akan bangkit dan mengawasimu memasak.”

Satu jam berikutnya dia berkata, “Sue, suatu hari aku berharap untuk melukis Teluk Naples.”

Dokter tiba di sore harinya. Sue mengikutinya memasuki aula di sisi luar kamar Johnsy untuk berbicara.

“Kesempatannya lumayan,” ucap dokter itu. Ia meraih tubuh kurus Sue, mengguncang dengan tangannya. “Berikan dia perhatian yang banyak, dan dia akan membaik. Dan sekarang saya harus memeriksa orang sakit lain di gedung ini. Namanya Behrman. Seorang pelukis, aku yakin. Pneumonia pula. Mike seorang pria tua, lemah, dan ia sangat menderita. Tidak ada harapan baginya. Namun, kami membawanya ke rumah sakit hari ini. Kami akan melakukan untuknya semudah yang kami bisa.”

Hari berikutnya dokter itu berkata pada Sue: “Dia sehat. Kautelah menjalankannya. Sekarang makanan dan perhatian—itu saja.”

Dan sore itu Sue mendatangi ranjang tempat Johnsy berbaring. Dia melingkarkan satu lengannya pada Johnsy.

“Aku punya sesuatu yang ingin kuceritakan,” dia berkata. “Tuan Behrman meninggal terkena pneumonia di rumah sakit hari ini. Ia baru sakit dua hari. Seorang menemukannya pada pagi di hari pertama, di kamarnya. Ia menderita tak tertolong.

“Sepatu dan pakaiannya basah dan sedingin es. Orang-orang heran ke mana ia telah pergi. Malam telah demikian dingin dan liar.

“Dan kemudian mereka menemukan beberapa hal. Terdapat sebuah senter yang telah ia bawa keluar. Dan terdapat bahan-bahan lukisannya. Terdapat cat, cat hijau dan cat kuning. Dan—

“Lihatlah ke jendela itu, Sayang, pada daun terakhir di tembok itu. Tidakkah kauheran alasan ia tidak pernah bergerak ketika angin berembus? Oh, Johnsy. Ia adalah karya agung luar biasa Behrman—ia telah melukisnya di sana pada malam daun terakhir itu gugur.” (*)

 

 

 

(Diperoleh dari cerpen berjudul “The Last Leaf” karya O. Henry. Diterjemahkan oleh Rudiana Ade Ginanjar. Sumber: httpps://americanenglish.state.gov (pdf.). Diakses pada 18 April 2022. Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang.)



[1] Negara bagian di Amerika Serikat. Terletak di barat laut dan bertepian dengan samudra Pasifik.

[2] Negara bagian di AS. Terletak di ujung timur laut.

[3] Negara bagian di AS. Terletak di sisi barat.

[4] Sejenis penyakit paru-paru; radang paru-paru.

[5] Teluk Napoli, terletak di propinsi Napoli, barat daya Italia.

[6] Bersama-sama. (Cak.)

[7] Ukuran jarak setara 0,305 meter; satu kaki.

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

CAHAYA DAN BENANG: Bagian 1 (Han Kang)

KETIKA TAHUN BARU TIBA

CAHAYA DAN BENANG: Bagian 2 (Han Kang)