Posts

KETIKA SAYA SEORANG BOCAH (Louise Gluck)

    KETIKA SAYA SEORANG bocah kecil sekitar, saya pikir, lima atau enam tahun, saya panggungkan sebuah kejuaraan dalam benak, perlombaan untuk menentukan sajak terhebat di dunia. Terdapat dua finalis: “The Little Black Boy”-nya Blake dan “Swanee River”-nya Stephen Foster. Saya hilir mudik di kamar tidur cadangan di rumah nenek di Cedarhurst, suatu pedesaan di pesisir selatan Long Island, menghafal, dalam benak seperti yang lebih saya suka, bukan lewat mulut, sajak tak terlupakan Blake, dan menyenandung, juga dalam benak, syair Foster yang menghantui, terkucil. Bagaimana saya sampai membaca Blake merupakan suatu misteri. Saya ingat terdapat sedikit antologi puisi di rumah orang tua saya di antara buku-buku lebih umum mengenai politik dan sejarah dan novel yang melimpah. Namun, saya mengaitkan Blake dengan rumah nenek. Nenek saya bukanlah seorang wanita kutu buku. Meskipun begitu terdapat Blake, The Songs of Innocence and of Experience, dan juga sebuah buku tipis kidung dari lakon Shake

KERETA API (Nukilan Cerita)

Oleh: Alice Munro …      Mereka melangkah melalui papan-papan kayu yang diletakkan di atas lantai kotor yang ganjil, dalam kegelapan yang terpelihara oleh jendela yang terpasang papan. Menjadi sedingin pada suatu tempat dalam ruang kosong saat lelaki itu terlelap. Dia telah terbangun lagi dan lagi, mencoba mengerutkan dirinya sendiri dalam keadaan di mana ia dapat tinggal dalam kehangatan. Perempuan itu tidak menggigil di tempat ini—dia menyeruakkan bau dari usaha baik hati yang menyehatkan dan apa yang serupa persembunyian sapi.      Belle menuangkan susu segar ke dalam baskom dan menutupnya dengan sepotong kain katun tenun longgar yang disimpannya, dan memandu lelaki itu ke bagian utama dari rumah itu. Jendela-jendela di sana tak memiliki korden, sehingga cahaya mencapai ke dalam ruang. Begitu pula perapian kayu masih terpakai. Terdapat tempat cuci dengan pompa lengan, sebuah meja dengan kain layar di atasnya usang di beberapa bagian dalam sobekan-sobekan, dan sebuah dipan yang t

KEPADA SUNGAI NIL (John Keats)

Putra sang Pegunungan rembulan kuno bangsa Afrika! Penghulu Piramida dan Buaya! Kami menyebutmu subur, dan sejenak itu pula Sehampar gurun mengisi bentangan tatapan batin kita: Perawat bangsa kulit hitam sejak dunia bermula, Apakah engkau sungguh subur? atau engkau bohongi Manusia lain demi kehormatan, yang, usang oleh kerja keras, Berbaring dalam suatu ruang antara Kairo dan Decan ? O, semoga khayal gelap ini keliru! Engkau sungguh subur; Adalah kedunguan mengharap ladang tandus menghamburkan Segala di luar dirinya. Engkau embun di atas Kesibukan biasa seperti sungai-sungai kami, dan sungguh mencecap Kesejukan sinar mentari. Kepulauan muda terdapat padamu pula, Serta bahagia turunlah ke pantai seakan tergesa.       Judul asli, “To the Nile” karya John Keats. Diterjemahkan oleh Rudiana Ade Ginanjar . Terangkum dalam John Keats: Selected Poems (2004) dari Coradella Collegiate Bookshelf Editions . Hak cipta © 2004 pada thewritedirection.net . Sumber: www

OH, KAPTEN! KAPTENKU! (Walt Whitman)

    Oh, Kapten! Kaptenku! Perjalanan menakutkan kita telah usai, Kapal itu telah termakan cuaca di tiap para-para, anugerah kita cari telah dimenangkan, Pelabuhan dekat, genta kudengar, segenap khalayak bersukacita,   Sejauh mata lunas kokoh, kapal teguh dan menantang;   Duhai, sayang! Sayang! Sayang!     Duhai, tetesan mengucur merah,      Di sana di dek Kaptenku berbaring,       Gugur oleh maut dan beku.   Oh, Kapten! Kaptenku! Bangkitlah dan simak genta; Bangkit—bagimu panji terbentang—bagimu terompet bergetar, Bagimu buket dan kalungan bunga berpita—bagimu pesisir gempita,  Bagimu mereka mengelu-elu, khalayak mengalun, raut muka mengharap mereka menoleh;   Inilah, Kapten! Pandu terhormat!    Lengan ini menopang kepalamu!     Mimpilah ini dari dek kapal,      Engkau telah gugur oleh maut dan beku.   Kaptenku tak menyahut, bibirnya pucat dan hening, Panduku tiada merasakan lenganku, tak punya detak atau juga kehendak, Kapal melepas jangkar sentosa, pengembaraan ini ditutup dan usai,

WALS WINA SINGKAT (Federico Garcia Lorca)

Di Wina terdapat sepuluh gadis mungil, sebidang bahu bagi maut untuk merintih, dan sebuah hutan burung-burung dara dahaga. Terdapat sempalan masa akanan dalam museum kebekuan musim dingin.  Terdapat suatu pendapa dansa ribuan jendela.   Amboi! Dengarlah wals yang sedikit bicara ini.    Wals singkat, wals singkat, wals singkat, tentang diri kematiannya, dan tentang brendi yang mencelupkan ekornya ke laut.   Kucinta engkau, kucinta engkau, kucinta engkau, bersama lengan kursi dan buku kematian, menuruni gang kemurungan, dalam loteng tergelap iris.   Amboi! Dengarlah wals yang melinu pinggang ini.   Di Wina terdapat empat cermin yang mana mulutmu dan gema-gema bermain.  Ada maut bagi piano yang melukiskan bocah biru kecil. Ada pengemis di atap. Ada karangan bunga air mata segar.   Amboi! Dengarlah wals yang tewas dalam dekapanku ini.   Karena kucinta engkau, kucinta engkau, sayang, di loteng tempat anak-anak bermain, memimpikan sinar Hungaria kuno melalui hidung, senja sejuk semilir, mene

JANUARI UTAMA

  Octavio Paz, 1914-1998 Pintu-pintu tahun membuka seperti pintu-pintu bahasa menuju yang tak terketahui. Semalam kau berkata padaku:      esok kita mesti menerka pertanda, merancang pandang, mereka-reka rencana pada halaman ganda dari hari dan kertas. Esok, kita mesti menemu, sekali lagi, kenyataan dunia ini. Aku terlambat membuka mata. Dalam sedetik dari sedetik aku rasakan apa yang suku Aztek rasakan, di puncak semenanjung, berbaring menunggu waktu yang tak pasti kembalinya melalui celah-celah cakrawala. Tapi tidak, tahun telah kembali. Ia memenuhi seluruh ruang hingga tatapanku hampir menyentuhnya. Waktu, dengan tanpa bantuan kita, telah menempatkan dengan saksama tatanan yang sama seperti kemarin rumah-rumah di jalanan lengang, salju pada rumah-rumah, kebisuan pada salju. Kau di sampingku, masih lelap. Hari telah menemukanmu tapi kau belum mau menerima menjadi temuan hari.       —Mungkin tidak menjadi temuanku, juga. Kau dalam hari yang lain. Kau di sampingku dan aku meliha

SAJAK PENGHUJUNG TAHUN

  JOHN KEATS Tertulis di Malam Musim Panas Lonceng gereja mendentangkan kisaran murung, Memanggil orang-orang pada suatu doa lain, Suatu kesuraman lain, keacuhan yang lebih ngeri, Lebih mendengarkan suara seram khotbahan. Dengan yakin nalar manusia terikat sepenuhnya Pada suatu mantra samar: menyaksikan tiap diri meneteskan air mata Dari riang tepi pediangan dan hawa Lydian, Dan gigih melawan itu semua dengan kejayaan bermahkota. Masih, masih mereka berdentang, dan akan kurasakan lembap, Dingin bak dari sebongkah makam, sungguh aku tidak tahu Mereka sekarat bagai sebutir lampu aus, Inilah desahan mereka, lengkingan, bergegas mereka Terlupakan—bunga-bunga baru akan mekar, Dan menuju kejayaan-kejayaan dari cap abadi. Judul asli, “Written on a Summer Evening” karya John Keats. Diterjemahkan oleh Rudiana Ade Ginanjar . Terangkum dalam John Keats: Selected Poems (2004) dari Coradella Collegiate Bookshelf Editions. Hak cipta © 2004 pada thewritedirection.net. Sumber: www.pd