Posts

REMBULAN DI ATAS KOTAGEDE

Sajak Rudiana Ade Ginanjar   Ada senja di atas Kotagede. Seraut bayang kabur, Kekasih di talam malam.   Usia menjadi emas, kala—roda gerigi mengikis.   Tahun-tahun anyelir, seakan menemu jalan dan kalimat. Sebatang beringin ranum oleh bayangan.   Di tahun yang tamasya, kelokan itu, kuingat mendaki ke langit.   Orang-orang dari jauh, dengan hati yang jauh, mulai menyimak jarak di riwayat abad.   Inilah waktunya, panggung telah ditata suara-suara sibuk             mencari mulut yang menyebut dalam cinta, malam mekar musik.   Bulan sewarna emas, ruang—hawa takjub menampung.   2023  

ETUDE DI SUATU MASA

Sajak Rudiana Ade Ginanjar       Kata-kata telah jatuh, mungkin hujan. Hening meletuskan nyanyian sekuntum kembang malam yang mekar             di kebun seorang sufi.   Sekali waktu debur hangat matahari yang dikuduskan mulai menitahkan gerimis pergi.   Bagaimana waktu akan mencari nada pertama pertemuan.   Lagu ini terus sembunyi, ke balik pohon malam. Lagu musim berakhir hujan.   Ada sungai panjang menjadi tampungan hati. Sungai dari masa silam, tempat senandung murni hari.   Aku harus tidur, sambil menyalakan mimpimu. Tidur, dengan matahari tugur . [1]   Minggu demi minggu, bulan memangkas             warna malam; puncak-puncak pohon kini silau oleh gema cahaya.   Pada denyut pertama, alun tengah hari. Pada rentang yang melintas refrain [2] keterjagaan kita...

JAUH DARI PALESTINA

Sajak Rudiana Ade Ginanjar Dalam keseluruhan itu, hanya sehampar kebun.   Selebihnya terang musim pengharapan.   Kenangan digali, hujan menyiram bulan-bulan musim tanam. Laut jauh dan sungai belum lagi mati.   Aku hanya bagian dari arus berkelok ke Selatan.   Dan degup jantung, secemas rayapan bengkarung.   Musim akan melandai, akan menjelma masa tanam. Tanah orang-orang hidup ini, dulu cuma kebun liar—masa-masa fajar, riuh taman kanak pengalaman.   Aku masih jauh dari Palestina.   Tidak ada yang cukup menderita dari lapar bulan Agustus.   2025      

MERESAPI KEHIDUPAN SEHARI-HARI (Ulasan Buku)

Image
  Oleh: Rudiana Ade Ginanjar   SEBAGAI SEBUAH PUISI, buku Hujan Bulan Juni karya penyair kenamaan Sapardi Djoko Damono menunjukkan cara seorang penyair dalam menyikapi kehidupan sehari-hari. Bahasa keseharian bagi setiap penyair adalah juga pertanda dan sumber pemikiran. Seperti ritus dan tradisi, detak waktu tidak lantas menjadi membosankan dan terasa usang. Penyair adalah orang yang bisa membuat perbedaan. Ketika saat-saat siang yang hibuk dan tenggelam dalam kerja, penyair mendedahkan madah untuk merayakan bahasa hidup tersebut. Mereka tidak hidup semata untuk menyendiri, sebagai seorang pertapa, melainkan memberi dimensi pemahaman terhadap kejadian-kejadian. Ketika beberapa dari rekan sesama penyair memilih untuk terjun dalam bahasa kritik dan perlawanan, Sapardi Djoko Damono menawarkan cinta dan kearifan. Puisi menjadi bahan pertalian antara jiwa sang penyair dengan respon, empati, dan afeksinya terhadap pengalaman. Tak dipungkiri, diri seorang penyair juga bisa menjelm...

MIMPI YANG SERING TERULANG (Robert Frost)

  Dia tidak cukup mengatakan kegelapan   Demi cemara tua yang terus Selalu menguji kait jendela   Dari kamar tempat mereka lelap.   Tangan-tangan tak letih walau tak berguna   Yang bersama tiap lalu sia-sia Membuat pohon raksasa tampak seakan seekor burung mungil   Di hadapan rahasia kaca!   Tak pernah masuk ke dalam kamar itu,   Dan hanya satu dari keduanya Cemas oleh mimpi yang sering terulang   Atas kehendak pohon itu.       Judul asli, “The Oft-Repeated Dream” karya Robert Frost. Terangkum dalam antologi Mountain Interval (1916). Diterjemahkan oleh Rudiana Ade Ginanjar . Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang.

PENYAIR BERANJAK TUA (Pablo Neruda)

  Ia memberiku lengannya seperti sebatang pohon tua yang menjulurkan cabang dahannya, tak berdaun dan tiada berbuah. Tangan nya yang tak melipat, selagi menulis, serat dan anyaman dari sebuah nasib, sekarang bersinar dengan lurikan gurat rambut: hari dan bulan dan tahun. Kala mencorat-coret kegersangannya pada wajahnya, membangkang dan kurus, seakan-akan membagi segenap garis dan tanda kelahirannya, setakat, sedikit demi sedikit, udara akan memekikkan apa yang ia lihat dan menegakkannya di sana.   Batas memanjang tempat kedalaman berada, bab yang padat selama tahun-tahun wajahnya, perlambang yang bersungut-sungut, dan fabel samar-samar, tanda bintang— apa pun yang sirene itu lupa dalam tua pengasingan jiwa, atau menetes dari langit dan gemintang, dicetak pada wajahnya. Kuno dan bardic , [1] penanya tiada pernah terpaku di atas halaman bandel sungai yang meluap sepanjang hidup kita atau dewa tak bernama yang merawat sajaknya. Sekarang pada tulang pipinya segenap dari  mis...

CAHAYA DAN BENANG: Bagian 2 (Han Kang)

...  Dengan membaca kalimat-kalimat ini, saya mengetahui seterang kilat jalan mana novel itu harus lalui. Dan bahwa dua pertanyaan saya harus sebaliknya.   Can the past help the present? Can the dead save the living?   (Bisakah masa silam membantu hari ini? Bisakah yang mati menyelamatkan yang hidup?)   Lantas, saat saya sedang menulis apa yang akan menjadi Tindak Manusiawi (Human Acts) , saya tergerak pada saat tertentu yang masa silam sungguh membantu hari ini, dan yang kematian tengah menyelamatkan yang hidup. Saya akan mengunjungi kembali pekuburan itu dari waktu ke waktu, dan entah bagaimana cuacanya selalu terang. Saya akan menutup sepasang mata, dan sinar jingga mentari akan menyaput pelupuk mata. Saya merasakannya sebagai cahayanya hidup itu sendiri. Saya merasakan cahaya dan udara membungkus dalam kehangatan yang tak terperi. Pertanyaan yang masih bersama saya lama seusai melihat buku foto itu yakni: seberapa manusiawi kekerasan ini? Dan se...